Webinar Series #2: Bagaimana Redesain Pariwisata Berkelanjutan Bali di Era New Normal?

`


JUMAT, 5 Juni 2020, bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Godevi berkolaborasi dengan Fakultas Pariwisata UNUD menggelar Webinar GoDevi Seri #2 dengan topik “Redesain Pariwisata Berkelanjutan Bali di Era New Normal”. Diikuti oleh 270 peserta dari berbagai kalangan, diskusi mendapat respon positif, terbukti dari antusiasme banyaknya pertanyaan kepada narasumber hingga berlangsung selama 2,5 jam.


Webinar kali ini sepesial karena menampilkan para narasumber yang memang memiliki keahlian di bidang pariwisata dan berpengalaman dalam menyusun kebijakan pariwisata baik di tingkat daerah maupun nasional. Adapun narasumber pada webinar ini yakni Prof. Dr. I.B Wyasa Putra, SH.,M.Hum.,  Wakil Rektor IV Universitas Udayana, Prof. Dr. Janianton Damanik, M.Si. Kepala Pusat Studi Pariwisata (PUSPAR), Universitas Gadjah Mada, dan Dr. I Nyoman Sunarta, M.Si., Dekan Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana. Dimoderatori oleh Dr. I Nyoman Sukma Arida, M.Si Dosen yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan III Fakultas Pariwisata dan Penulis Buku Dinamika Ekowisata Tri Ning Tri serta didampingi Business Development Executive GODEVI Ni Made Gandhi Sanjiwani, S.Par.,M.Sc.


Di awal acara, I Gede Gian Saputra, S.Par,. M.Par. mewakili panitia penyelenggara webinar sekaligus Founder GoDevi menyampaikan apresiasi kepada Pemerintah Propinsi Bali beserta para tim ahlinya karena kondisi pandemi ini mampu dan berusaha keras merancang Perda Standar Penyelenggaraan Pariwisata Budaya Bali yang baru. Tentunya ini merupakan langkah nyata agar pariwisata yang menjadi sektor andalan pulau Bali dapat beradaptasi dengan kodisi kernormalan baru (New Normal Era) dimulai dari regulasi yang tepat. 

Pada kesempatan ini, Prof Damanik mengungkapkan bahwa Bali selalu dipandang sebagai kiblat sukses pariwisata, karena pengalaman Bali sudah cukup panjang. Hal ini dikarenakan kesuksesan Bali yang berhasil bangkit dari beberapa peristiwa dan bencana, mulai dari Bom Bali I dan II, Erupsi Gunung Agung, serta berhasil bangkit dari wabah kolera. Selain itu dilihat dari catatan para peneliti, Bali juga merupakan destinasi dengan tingkat kunjungan kembali wisatawan yang tinggi, serta berhasil memadukan harmoni antara alam dan budaya sebagai daya tarik pariwisata. Bali adalah satu-satunya destinasi di Indonesia yang dinobatkan sebagai destinasi no 1 di dunia oleh Tripadvisor. Namun, ia juga mempertanyakan apakah keberhasilan tersebut dapat menjamin pariwisata berkelanjutan di Bali?.

Diskusi ini menarik karena ia menyampaikan beberapa fakta tentang Bali yang dilihat dari perspektif orang luar Bali dengan mengatakan;   “Bali ada pada persimpangan jalan keberlanjutan, hal ini dilihat dari beberapa faktor: 
a. Penambahan jumlah hotel di Bali dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
b. Terjadi alih fungsi lahan yang meningkat: terdapat penyusutan lahan 25%, sedangkan peningkatan jumlah penduduk dan wisatawan sebnyak 66%. Dan 330%.
c. Penyusutan lahan yang berakibat pada merosotnya jumlah subak, kondisi ini akan mengancam keberlanjutan sawah di Bali dan predikat Bali sebagai Cultural Heritage terancam.
d. Bali juga sempat mengalami krisis air, kurun waktu 2009 s.d 2013, karena setiap hotel/villa mengkonsumsi 35 kali lipat jumlh air dari yang dikonsumsi oleh warga lokal. Dan ini benar2 dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan yang mengancam keberlanjutan pariwisata Bali”.




Prof Wyasa pun tak menampik ungkapan tersebut, Bali ada pada persimpangan jalan keberlanjutan adalah ungkapan jujur dari Prof Damanik, ujarnya. Lanjut, ia pun memberikan pandangan dengan melihat jeda Pandemi Covid-19 dan ancaman mass tourism yang lebih besar menjadi pelengkap fakta pariwisata Bali saat ini. Keunggulan kompetitif Bali ada pada uniqueness, terutama pada cultural identity, hal ini menyangkut value. Value ini lah yang sulit untuk dijelaskan. Itulah mengapa wisatawan lebih memilih alam Bali dibandingkan dengan alam daerah lain di Indonesia.

Uniqueness adalah keunggulan komparatif yang tidak bisa disamakan antara destinasi satu dan lainnya. Uniqueness apabila tidak dieksploitasi, dan dijaga dengan baik maka akan menjadi berkelanjutan. Dalam hal ini, Bali mengalami tekanan mass tourism yang cukup signifikan. Mass tourism, yakni jumlah kunjungan wisatawan massif yang menekan secara konsisten, tidak memberikan kesempatan bagi Bali untuk melakukan recovery akan mengancam uniqueness Bali dan pada akhirnya juga mengancam keberlanjutan pariwisata Bali. Apa yang membuat orang kembali ke Bali?, ia pun menjawab “Identitas Bali” yakni sawah, air, agriculture, budaya orang Bali, yang akhirnya membangun identitas membentuk Value The spirit of tourism of Bali.



Karena kondisi Pandemi Covid-19 secara signifikan berdampak terhadap eksistensi pariwisata Bali, Pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan merancang Perda Bali No 2 tahun 2020 Tentang Kepariwisataan Budaya Bali yang mencoba memulihkan komponen uniqueness Bali, dengan menekankan pada beberapa poin; 1. Pariwisata yang lebih melindungi sumber daya, 2. Pariwisata yang lebih berkualitas, 3. Pariwisata yang lebih adil dan pro-masyarakat adat sebagai pemangku kepentingan utama kebudayaan Bali, 4. Pariwisata yang lebih pro-daya dukung lingkungan, 5. Pariwisata budaya dan kemasan pariwisata digital. Prof Wyasa juga mengungkapkan beberapa Pergub yang lahir dari perda no 2 tahun 2020 diantaranya; Pergub Standar Penyelenggaraan Pariwisata Budaya Bali, Pergub Protokol Kesehatan dan Pergub Pariwisata Digital.



Pembicara ketiga, Dr. Nyoman Sunarta, M.Si., memberikan pandangan tentang redesain pariwisata berkelanjutan Bali yang dapat dimulai dengan memulihkan kepercayaan melalui kesehatan, keselamatan dan keamanan masyarakat. Kolaborasi pemerintah-masyarakat-industri pariwisata untuk membuka kembali destinasi. Penerapan prosedur dan protokol kesehatan. Membuat program kampanye untuk pasar domestik, Koordinasi antara kebijakan pariwisata kesehatan dan transportasi. Ia juga mengungkapkan bahwa Bali sebagai destinasi pariwisata sudah saatnya memiliki paradigma baru dalam pengelolaan pariwisata Bali dengan mengatur dirinya sendiri.

Hal ini dapat dilihat dari berani menjual apa yang kita punya, bukan hanya menjual apa yang wisatawan mau, kembali kedasar (tradisi, upacara dan upakara), kembali ke alam dan kembali ke tradisi. Yang menarik, ia juga menyoroti pemahaman tentang siapa saja pemangku kepentingan pariwisata, karena selama ini alam/lingkungan dimana pariwisata itu berkembang sering dilupakan untuk menjadi stakeholder pariwisata. Untuk itu, melihat pariwisata diperlukan pendekatan sebuah system sehingga pariwisata dapat berkelanjutan.

Pada sesi diskusi, Iwan Dewantama - Direktur Conservation International Bali- memberikan tanggapan terkait pemaparan ketiga narasumber. Ia pun berharap bagaimana memastikan perda no 2 tahun 2020 yang idenya disampaikan narasumber tentang keberlanjutan pariwisata Bali benar2 dituangkan dalam Peraturan Gubernur (Pergub). Kesehatan sangat penting dalam menarik kunjungan wisatawan. Namun, yang juga penting kedepan adalah bagaimana pertanian bisa menjadi kuat dalam mendukung pariwisata. Sehingga Bali tidak menjadi destinasi yang mass, melainkan destinasi yang dapat menarik kunjungan wisatawan yang berkualitas. 

Hadir pula Prof. Darma Putra Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UNUD yang memberikan komentar atas diskusi pada webinar ini. Ia menyoroti diskusi dari narasumber yang kurang melihat subsistem Bali bagian dari Indonesia. “Kita menginginkan quality tourism namun pemerintah menginginkan 20 jt kunjungan ke Indonesia dan Bali harus 10 jt. Kondisi Bali sebagai bagian dari Indonesia disatu sisi menguntungkan dan disisi lain merepotkan, karena Bali harus mendukung pengembangan pariwisata di daerah lain”, ujarnya. Ia pun memberikan apresiasi pada Godevi yang ikut mengembangkan desa wisata sebagai bentuk dari pariwisata berkelanjutan.




Setidaknya, dari webinar ini dapat diperoleh beberapa hal terkait bagaimana redesain pariwisata berkelanjutan Bali di era new normal. Melihat situasi pandemi di Bali, membuat masyarakat dan pemerintah mau belajar, tentang bagaimana memperbaiki, menjaga komponen-komponen yang membentuk Uniqueness Bali sebagai daerah tujuan wisata dan menjadikan suatu kebijakan yang tepat. Sustainability is quality, dalam prinsip ini mengandung kebijakan Pro-Quality Tourism yaitu pertumbuhan minimum untuk hotel, alih fungsi, jumlah wisatawan, penggunaan sumber daya air.

Penting untuk berorientasi pada konservasi alam dan budaya serta berorientasi pada pengembangan produk. Selanjutnya, Health is power or king, ini berarti perlu adanya reorientasi daya saing. Dari destinasi pariwisata massal ke destinasi spesial interest (health/wellness, cultural experiences, education,), Bukan harga murah, tapi kebershihan, kesehatan dan keamanan (CHS) sebagai daya saing utama, kepatuhan pada protokol new normal level global di semua lini. Tourist New Normal akan lebih banyak melakukan perjalanan lokal, lebih mementingkan privasi dan distancing serta lebih menyukai natural tourism. Maka dari itu health sertificate akan menjadi syarat penting dalam era new normal.  

Ke depan pariwisata Bali, penting melihat aspek masyarakat lokalnya, yang pada masa pandemi ini masyakat desa merupakan daerah paling sensitive untuk menentukan keberlanjutan pariwisata Bali. Hampir semua daya tarik wisata lokasinya ada di wilayah desa. Sumber daya manusia pariwisata tidak hanya yang bekerja dan berinteraksi langsung dengan wisatawan, selama ini masyarakat lokal desa sering dilupakan. Selain itu, pariwisata sebagai industri sangat bergantung pada lingkungan, oleh karenanya diperlukan paradigma baru dalam mengelola Pariwisata Berkelanjutan Bali dengan memandang pariwisata sebagai sebuah sistem yang saling mendukung dan saling tergantung.

(editor: Narrarya Narottama )


#webinarFPar_godevi    #pariwisataberkelanjutan        #newnormalera #balisustainabletourism  #new_paradigm_of_balitourism